Jumat, 01 Juni 2012

SEMINAR NASIONAL MENCARI IDEOLOGI PERJUANGAN KH BADRUZZAMAN

MENCARI IDEOLOGI PERJUANGAN KH BADRUZZAMAN

 

oleh:

Prof. Dr. Nurwadjah Ahmad Eq. M. A.

 

 

 

SEMINAR NASIONAL

PENGUSULAN ALM. SYAIKHUNA BADRUZZAMAN

SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL



Diselenggarakan oleh:

YAYASAN MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA

CABANG JAWA BARAT

Pesantren AI-Falah-Biru, Garut 4 Mei 2011


clip_image001[6]

 

MENCARI IDEOLOGI PERJUANGAN KH BADRUZZAMAN


oleh:

Prof. Dr. Nurwadjah Ahmad Eq. M. A.


Sebagai lazimnya seorang ulama' besar dilahirkan, dipastikan hasil dari pembinaan langsung keluarga dan lingkungan pesantren sendiri, barn kemudian dilanjutkan mencari ilmu di pesantren-pesantren diluar lingkungannya. Demikian pula yang dialami oleh KR Badruzzaman, berawal dari pendidikan yang diberikan oleh ayahnya KH. Fakih, KH. Badruzzaman mendapat ilmu-ilmu dasar dan ilmu instrumen bahasa Arab. Kemudian KH. Badruzzaman dikirim kepada pamannya KR Qurtubi di Pangkalan Tarogong Garut, untuk belajar ilmu fiqih dan lainnya. Kemudian KH. Badruzzaman melanjutkan pendidikannya di pesantren Darul Falah - Cianjur, pesantren Cinta Warna - Tasikmalaya, dan pesantren Nurul Hidayah – Balerante Cirebon. Kemudian diluar Indonesia beliau berguru kepada Syaikh Sa'id al-Yamani seorong mufti Hanafiah kenamaan yang ada di Makkah, disini beliau belajar Hadits, Tafsir al Qur'an, Fiqih, dan Ilmu Fiqih ini berlangsung ±1920 an. Kemudian pulang ke Indonesia Untuk menikah yang tidak berlangsung lama. Pada tahun 1926 KH. Badruzzaman menikah lagi, dan kemudian berangkat ke Makkah lagi, belajar kepada seorang Mufti Maliki yang bernama Syaikh Ali Maliki. Pada waktu bersamaan beliau bertemu dengan KH. Khalil - Madura, dan belajar kepadanya. Pada tahun 1933 beliau kembali ke Indonesia dan bermukim di pesantren Biru peninggalan ayah handanya, KR Fakih. Pada masa kepemimpinan KH. Badruzzaman inilah pesantren Biru dikenal berbagai lapisan masyarakat.
Hal yang menarik yang bisa dikembanagkan dalam meneliti KH. Badruzzaman adalah mengenai dimensi pemikiran fiqihnya. Jika pada umumnya pesantren-pesantren di Indonesia mengajarkan kitab-kitab Mazhab Imam Syafi'i sebagaimana dikemukakan oleh penelitian Zamakhsari Dhoifer dalam bukunya Tradisi Pesantren (1992). Maka KH. Badruzzaman tidak demikian, beliau mengajar al Muwatha, Nail al –awthar, Subu al-Salam. Kitab-kitab yang bermazhab Hanafi yang diajarkan oleh beliau belum diketahui. Dan interaksi beliau dengan Mufti Malikiyah dan Mufti Hanafiyah di Makkah, tampaknya ini membawa ilmplikasi kepada dua hal; pertama, pada sikap dan yang ke.dua, pada sistem pemikiran fiqihnya.
Pertama, pada aspek sikap oleh murid-muridnya beliau dikenal sebagai seorang moderat dan toleran, KH. Badruzzaman tidak pernah berhenti dalam satu mazhab di dalam menjelaskan figth cenderung selalu menjelaskan satu masalah fiqhiyah itu tidak dengan satu mazhab. Sehingga jika muncul masalah-masalah fiqhiyah dalam kehidupan sehari-hari kemudian diklaim oleh sekelompok masyarakat bahwa itulah pendapat salah satu mazhab beliaupun membenarkannya dan mengatakan bahwa demikianlah dalam Islam. Terhadap sikap moderat KR Badruzzaman ini seorang tokah nasional agamis berkomentar bahwa "seandainya kiyai-kiyai di daerah bersikap seperti KH. Badruzzaman mungkin umat Islam Indonesia akan hidup rukun dan damai".
Kedua, pada system pemikiran fiqihnya, beliau lebih men' ampakkan sebagai seorang rasionalis dalam arti metodologi istinbath al-Ahkam. Hal ini diduga keras disebabkan oleh interaksinya dengan mazhab Hanafiyah yang dalam dunia pemikiran Islam dikenal sebagai mazhab rasional. Hal ini pula ditunjang oleh subjek materi yang dikuasai oleh beliau ialah ilmu ushul al-Fiqh, dan ilmu logika atau mantiq. Beliau menguasai ilmu ushul al-Fiqh Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafi'iyah. Hal inilah yang kemudian menjadi kekuatan sendiri bagi beliau sebagai seorang ulama' ditengah ulama' lainnya yang berada khususunya di Garut dan Jawa Barat pada umumnya. Dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh beliau, sepengetahuan penulis biliau menggunakan pendekatan problem solving. Kepada murid-muridnya beliau lebih banyak memberikan ilmu-ilmu instrumen seperti ushul al-Fiqh, mantiq, dan kaidah bahasa Arab. Sedangkan figth sering dijadikan sebagai objek dari Analysis Content sepanjang menyangkut format pemikirannya, bukan pada substansi isinya. Oleh karenanya murid-murid beliau terbiasa menyelesaikan kasus-kasus fiqhiyah karena memang didalam proses pembelajaran selalu dibiasakan memecahkan masalah.
Sebagai sebuah contoh kepiawaian KH. Badruzzaman menyelesaikan masalah khilafiyah ketika beliau menghadiri pertemuan para ulma' di Tasikmalaya. Hadir pada pertemuan itu antara lain, KR Wahid Hasyirn¬Tebuireng. KH. Hasbullah – Tambakberas, serta penyelenggara Ajengan Ruhiyat sebagai pribumi. Menurut catatan pada pertemuan itu juga dihadiri Soekarno. Pada pertemuan itu ada beberapa masalah yang dibahas dan tidak seluruhnya dapat diselesaikan. Dan menurut catatan pada wakktu itu beliau dapat menyelesaikan masalah dengan dalil naqli dan aqli. Pertemuan itu berlangsung + tahun 1940 an. Sejak saat itulah KH. Badruzzaman terkenal kekuatan keilmuan dan keluhuran budinya.
Aspek atau faktor lain yang membedakan beliau dengan kiyai lain adalah pada dimensi pemikiran kalamnya. Sepengetahuan penulis dalam aliran-aliran kalam Islam ada yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan. Pertanyaannya, sampai dimanakah akal dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. KR Badruzzaman berpendapat bahwa akal dapat mengetahuai adanya Tuhan. Cara yang bisa dilakukan untuk itu ialah merenungkan diri sendiri atau intidhar, merenungkan alam semesta, planet-planet dan binatang-binatang yang aneh. Setelah melakukan intidhar pada diri sendiri, alam semesta beserta isinya akal dapat mengambil kesimpulan bahwa semuanya itu bisa musnah. Sesuatu yang musnah tentu baharu, dan setiap yang baharu tentu hams ada yang membarukannya atau membuatnya dan yang membuatnya itu hams dzat yang qadim, karena jika yang membuat itu baharu pula maka akan terjadi renteten yang tidak ada ujungnya (tasalsul). Dzat yang qadim itu adalah Allah. Dengan cara inilah KH. Badruzzaman meyakini bahwa akal manusia dapat menemukan adanya Tuhan yaitu membenarkan adanya Tuhan sebagai pencipta dengan segala sifat kesempumaan-Nya. Tetapi yang diketahuai akal bukan dzat-Nya tetapi keberadaan-Nya. Mengenai perbuatan baik-buruk manusia menurut KH. Badruzzaman tidak bisa diketahui oleh akal, artinya akal manusia tidak akan mampu mengetahui suatu perbuatan itu baik atau buruk. Oleh karenanya perbuatan baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan dan meninggalkannya hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu. Pandangan kalam KH. Badruzzaman mengenai akal ini dibelakang nanti akan berimphkasi kepada aktivitas sosial dan politiknya.
Aspek kalam lainnya yang menjadi perhatian KH. Badruzzaman ialah tentang perbuatan manusia. Didalam paham Qadariyah (free will) manusia dipandang sebagai mahkluk yang mempunyai kebebasan dalam perbuatannya. Sebaliknya sikap Jabariyah (predestination) memandang manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan perbuatan, bahkan apa yang dikerjakan manusia sudah ditentukan sejak zaman azali. Komentar KH. Badruzzaman terhadap kalam Qadariyah adalah, paham ini terlalu percaya dan mengandalkan kekuatan diri manusia, mereka tidak memikirkan kekuatan yang berada diluar dirinya. Sedangkan pada paham Jabariyah diklaim bahwa manusia terlalu menyerah kepada sesuatu yang belum ketahuan kepastiannya, segalanya Tuhan yang berbuat sehingga manusia tidak memiliki daya dan kehendak dalam perbuatannya, hal inilah menurut beliau sebagai penghambat kemajuan manusia.
Solusi yang ditawarkan oleh KH. Badruzzaman adalah, seharusnya pandangan yang dibawakan oleh Jabariyah dan Qadariyah dipadukan yaitu manusia wajib berihtiar dalam mewujudkan perbuatannya sekaligus meyakini kemutlakan kekuasaan Tuhan. KH. Badruzzaman menekankan bahwa manusia wajib berihtiar dalam mewujudkan keinginannya. Ihtiar-ihtiar yang dilakukan manusia dalam pandangan KH. Badruzzaman tampak sesuai dengan sunatullah. Sunatullah ialah keteraturan menyeluruh yang dibuat oleh Allah menyangkut makhluknya. Keteratuaran ini tidak berubah-ubah sebagai firman Tuhan "tidak akan pernah engkau dapatkan perubahan pada sunatullah" (Q. S. al Ahzab: 62). Dalam pemikiran beliau perkembangan manusia dari kecil menjadi dewasa, dan bodoh menjadi pintar, dari fakir menjadi kaya menggambarkan adanya keteraturan pada perkembangan manusia. Orang yang tadinya bodoh menjadi pintar, dari fakir menjadi kaya menurut beliau semuanya melibatkan ihtiar manusia berupa kemauan dan kerja kerasnya. Ketika KH. Badruzzaman ditanya oleh salah seorang muridnya tentang relevansi perjuangan fisik dengan kemerdekaan, is menjawab; " kemerdekaan tidak akan tercapai tanpa kita berusaha meraihnya. Allah mengharuskan hamba berusaha, hasil atau tidaknya usaha itu Allah mengetahui. Dari pernyataan tersebut, kelihatan jiwa dinamis yang dianut oleh KH. Badruzzaman. Manusia perlu dan harus berusaha dalakri mewujudkan perbuatan-perbuatannya, manusia tidak akan bisa mewujudkan dan meraih apa yang diinginkannya, tanpa usaha sendiri. Betul Tuhan yang menentukan segala-galanya, tapi manusia tidak akan tahu apa yang akan diraihnya, keberhasilan atau kegagalan? Kehidupan di dunia ini sudah diatur oleh sunatullah, bila manusia mengikuti sunatullah yang baik, rajin dan giat berusaha, maka ia akan pintar, kaya dan mencapai keberhasilan. Sebaliknya, jika ia mengambil sunatullah yang buruk, malas tidak mau berusaha, maka ia akan tetap bodoh, fakir dan menemui kegagalan dalam kehidupannya di dunia. Sunatullah itu tidak akan berubah, dan manusia tidak bisa lari darinya.
Melihat uraian masalah Jabariyah dan Qadariyah KH. Badruzzaman di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa KH. Badruzzaman mengakui kekuasaan mutlak Tuhan terhadap perbuatan manusia. Tapi pernyataan itu tidak menghilangkan sifat dinamisme dalam dirinya. Menurutnya, manusia hams berusaha di dalam sunatullah yang telah diciptakan sejak zaman azali dan tidak akan berubah. Untuk itu, ia mengutip kata-kata hikmah, "siapa yang giat, dapat " dan Bagi setiap orang yang rajin berusaha berhak menerima bagiannya". Pendapatnya itu, ia praktikkan dalam hidupnya, ia belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh sehingga ia banyak mengetahui berbagai disiplin ilmu agama. Ia juga menyusun kekuatan bersenjata untuk mengusir penjajah dari tanah airnya.
Mencermati tradisi keilmuan atau tradisi intelektual yang dimiliki oleh KH. Badruzzaman serta sebagian dari pemikiran kalamnya tampaknya membawa implikasi kepada aktivitas keilmuan dan sosial politiknya. Aktivitas keilmuan yang dikembangkan oleh beliau berpijak kepada dua hal. Pertma, penguasaan metodologi keilmuannya. Kedua, penguasan substansi isinya. Dengan dua pijakan ini beliau berhasil membangun sikap moderat dan toleran sehingga beberapa ulama' mengakui kepiawaiannya. Hal ini jika diletakkan dalam perspektif rekayasa sosial atau pengembangan masyarakat menjadi sesuatu yang berharga. Untuk kasus-kasus keberagamaan masyarakat kita pada masa sekarang ini
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh KR Badruzzaman adalah sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam konteks perencanaan dan pengembangan masyarakat khususnya pada aspek keberagamaan masyarakat menjadi penting. Jika beliau pernah terjun didunia politik maka aktivitasnya di dunia politik bertolak dari kekuatan keilmuan yang dimilikinya. Paham teologinya tampak mendorong dirinya untuk melakukan ihtiar-ihtiar yang sungguh-sungguh. Itu dibuktikan dengan keterlibatan beliau dalam melawan kolonial Belanda melakukan perpindahan dari Garut ke Cikalong Wetan, ke Padalarang, ke Jakarta, ke Taraju – Tasikmalaya bahkan ke tanah suci Makkah. Beliau melakukan kordinasi baik dengan tokoh-tokoh pejuang tingkat nasional maupun lokal didalam upaya melawan penjajahan, misalnya, beliau selalu berhubungan dengan M. Natsir dalam konteks perjuangan bangsa. Terdapat juga catatan di tempat beliau yang barn seperti di Cikalong Wetan pada masa-masa sebelum kemerdekaan telah membangun kekuatan fisik yaitu membangun kelompok Hisbullah. Dari sisi teologi inilah kemudian nyaris beliau telah membangun sebuah ideologi perjuangan bangsa yang berbasis kepada ilmu (filth dan kalam) ditambah tasawuf atau tarikat. Seperti apa bangunan ideologi beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun masyarakatnya masih perlu dibicarakan dan dicari bukti-bukti sejarah yang memadai agar apresiasi kita kepada beliau dan menempatkannya sebagai pahlawan nasional tidak latah tetapi mengandung pembelajaran bagi kita sebagai murid-muridnya sekaligus sebagai penerus perjuangannya ... Wallah a'lam bi al-shawb..















Tidak ada komentar: