Tulisan dibawah ini semua adalah Hak Cipta dan tanggung jawab A. Tajul Arifin ST, Garut, kritikan dan saran yang membangun saya buka lebar-lebar dan semoga naskah ini bermanfaat...amiin (Jakarta 03 Oktober 2007)
Bab VI. Sejarah Syaikhuna Badruzzaman
(Al-Falah Biru)
1. Sejarah Singkat Syaikhuna Badruzzaman (1898-1974 M)
Sebelum lebih lanjut tentang siapa beliau maka penulis dapat simpulkan sebagai berikut :
- Beliau sebagai Ulama dan tokoh Islam Indonesia
- Beliau sebagai Wali (red.)
- Beliau sebagai Pejuang dan Tokoh Pejuang Indonesia
- Beliau sebagai Negarawan yang Intelektual
- Beliau adalah Bangsawan
- Beliau mempunyai masa/pengikut yang setia sampai saat ini (2007) sehingga
- Beliau mempunyai sejarah yang tidak mudah untuk dihapus atau terhapus.
Syaikhuna Badruzaman (KH. R. Muhammad Badruzzaman) adalah guru besar Thoriqot Tijaniyah (red.) di Kabupaten Garut dan Jawa Barat, beliaupun sebagai sesepuh Pasukan Hizbulloh Fisabilillah (red.) dalam menentang dan memerangi penjajahan Jepang dan Belanda. Beliaupun sebagai ulama dan waliyulloh yang tinggi pangkatnya disisi Alloh SWT dengan karomah luar biasa yang sudah dimaklumi oleh para muridnya serta mempunyai kharisma yang disegani baik dikalangan Islam (termasuk Saudi Arabia) maupun tingkat Nasional pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
Pada masa mudanya beliau terkenal sebagai ulama kecil (10 tahunan) yang piawai dan akhli dalam memecahkan masalah yang pelik-pelik atau mustahil khususnya dalam bidang masalah agama baik di daerah Garut, Jawa Barat, Indonesia, Arab Saudi sehingga guru besar di Mekah-pun (Arab Saudi) mengaguminya atas kecerdasannya yang bisa mengalahkan ulama-ulama dari beberapa penjuru dunia yang berada disana. Dalam memecahkan suatu permasalahan beliau cukup hanya dalam waktu satu jam dua jam sedangkan oleh ulama-ulama yang lain satu bulan dua bulan-pun masih belum bisa dipecahkan sehingga beliaulah yang diundang terakhir kali untuk diserahi permasalahan yang ada walaupun dalam usia masih muda sekali sehingga banyak yang senang dan juga yang iri walaupun dari kalangan para ulama.
Cerita-cerita yang mewarnai kehebatan beliau cukup banyak dan bervariasi baik dari segi ke-ilmuan agama, ke-saktian (istilah dunia persilatan), taktik atau strategi peperangan, ke-Tijanian serta karomah-karomah (keanehan-keanehan) dalam bidang kewalian selama hidupnya untuk kemaslahatan agama, bangsa dan negara, sehingga beliau selalu selamat dalam setiap ancaman dari musuh walaupun sedang tidur, oleh karena itu ada beberapa peneliti yang menuangkannya dalam bentuk tulisan baik dalam karya ilmiah, buku, tugas akhir skripsi, thesis dll, seperti dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Universitas Padjadjaran (UNPAD).
Beliau juga sangat berjasa dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penjajahan Belanda maupun Jepang yang ingin menguasai negara Indonesia, dengan membentuk pasukan Hizbulloh Fisabilillah beliau membantu bersama pemerintahan Soekarno untuk mengusir para penjajah dengan mengorbankan harta, jiwa dan raga yang rela berpindah-pindah tempat mulai dari daerah Garut, Bandung, Tasik (Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra dan Saudi Arabia untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia yang terjajah tanpa lelah dan berhenti, kendatipun pada waktu itu beliau sangat berkecukupan baik dengan harta ataupun pengaruh kebesaran ilmunya, sehingga beliau patut diberi julukan sebagai Pahlawan Nasional tanpa tanda jasa dan pamrih.
Beliau juga sebagai ahli dalam masalah agama baik mengenai rutinitas peribadatan maupun dibidang kemasyarakatan termasuk ketatanegaraan, bahkan beliau berpendapat negara Indonesia tidak bisa dijadikan Negara Islam dengan alasan negri Indonesia bukan Baitul Maal (red.) dan dengan disertai hadits-hadits yang diungkapkanya, sehingga Presiden Soekarno-pun berkata "Terima kasih KH. Badruzzaman".
Beliau sempat bergabug dengan perjuangan Karto Suwiryo pimpinan DI/TII di Gunung dan diangkat sebagai Hakim Agung DI/TII tetapi beliau berpisah kembali karena prinsipnya tidak sependapat dan dianggap menyimpang dari aturan agama Islam atas tindakan (seperti membunuh dan merampok dll) yang dilakukan oleh gerombolan Karto Suwiryo, yang latar belakangnya akhli bidang politik dan bukan akhli dalam bidang agama, karena kalah dan disalahkan dalam berdebat tentang konsep bentuk negara maka Karto Suwiryo berusaha untuk membunuh Syaikhuna Badruzzaman, sehingga beliau dijaga oleh para muridnya dari ancaman gerombolan DI/TII yang kemudian berangkat ke Arab Saudi.
Atas kebesaran ilmunya beliau Syaikhuna Badruzzaman tidak hanya dipercaya dalam permasalahan agama, beliaupun di percaya oleh para tokoh ulama dan nasionalis, yang diangkat atau dipilih untuk melantik Presiden RI pertama (Ir. Soekarno) yang disumpahnya dengan Al-Qur'an tahun 1950 di Istana Negara Jakarta. Adapun yang dipilih untuk melantik presiden saat itu adalah Syaikhuna Badruzzaman dari Garut dan Syaikhuna Ustman Dhomiri dari Bandung-Cimahi yang keduanya adalah pimpinan Thoriqot-Tijaniyyah. Salah satu murid Syaikhuna Badruzzaman dikalangan pemerintah adalah Muhammad Natsir (Tokoh Masyumi sebagai Perdana Mentri RI pertama 1950-1951), KH Isa Anshory, Jaya Rahmat pimpinan Masyumi daerah Jawa Barat dan lainnya termasuk para jendral yang belajar tata cara shalat.
Beliau adalah ulama yang waro (hati-hati tidak gegabah), bijaksana, patut di teladani, tidak cinta dunia, sabar sehingga tercermin dari penolakannya terhadap tawaran Presiden Soekarno untuk menjadi pejabat di pemerintahan yang waktu itu ditawari sebagai Perdana Mentri atau Hakim Agung atau Mentri Agama dan akhirnya diberikan kepada yang lainnya, dan beliaupun menasehati kepada anak-anaknya jangan berambisi untuk jadi pemimpin ("ulah hayang jadi pemimpin", sunda).
Dibawah ini akan penulis ungkapkan salah satu dari sekian banyak kisah-kisah yang nyata dan otentik pada masa hidup Saikhuna Badruzzaman Garut, semoga kita bisa mengambil hikmahnya Amiin.
3. Karomah Syaikhuna Badruzzaman di kepung Belanda dan Selamat
Beliau Selamat dari kepungan dan kejaran Belanda yang bersenjatakan lengkap brand, stend, karaben, alat teropong dll, yang menjadi luar biasa adalah mereka berhenti pada jarak 250 meter dan berputar disekitar itu, padahal rumah tempat yang ditujunya sudah pasti yang diberi tahu lebih dulu oleh mata-mata Belanda, karena musuh beliau selalu disertai oleh mata-mata yang mana orang indonesia itu sendiri yang menukar kemerdekaan bersama demi sepeser uang dari penjajah, atas karomah (Kehebatan, red.) beliau tidak satupun peluru yang di tembakan dan korbanpun tidak ada Alhamduillah. Adapun lengkapnya ceritanya adalah seperti yang dituturkan oleh Akeh Bapak H. Idi (93 tahun di tahun 2007) sebagai murid beliau sbb:
Pada suatu ketika Syaikhuna Badruzzaman pernah dikepung atau dioyod tentara Belanda di kp. Nunggal yang sedang berada di rumah pengungsian yaitu rumahnya orang tua Akeh tetapi mereka tidak sempat masuk ke kampung tersebut sedangkan mereka bermaksud menyerang kp. Nunggal untuk mencari dan menangkap beliau dan setidak-tidaknya pasti ada mata-mata Belanda yang memberi tahunya. Anehnya mereka seolah-olah terpagari oleh sesuatu (red.) sehingga berhentilah sampai di kp. Cimencek tidak satupun yang masuk dan memeriksa ke kampung itu padahal Jarak antara kp. Cimencek dan kp. Nunggal sekitar 250 meter cukup dekat dan keadaan pada waktu itu tidak ada benda-benda yang menghalangi antara dua tempat tersebut yang hanya diselangi dengan beberapa kotak sawah, bahkan komplotan dan peralatan persenjataan mereka terlihat dengan jelas dari kp. Nunggal, mereka datang lebih dari satu pleton atau sekitar 60-an tentara.
Pada jaman penjajahan Belanda jika suatu kampung di datangi oleh tentara pasukan Belanda maka penduduk kampung tersebut sangatlah ketakutan karena sifat dan karakternya sebagai "penjajah, penipu, pembujuk dan penindas" sehingga mereka tidak punya rasa iba atau kasihan dan tidak segan-segannya melukai penduduk yang mereka anggap membahayakan lebih-lebih yang melawan dan menentangnya secara terang-terangan, mereka akan cari dan mencari hingga orang itu ditangkap atau dibunuh dengan timah panas (peluru), disetrum tegangan listrik, digantung dll seperti kisah penyerangan Belanda ke Al-Falah Biru, orang lari ketakutan langsung di dor...!, orang yang sedang mencangkul di sawah lari ditembak pula kendatipun tidak bersenjata itulah salah satu kekejaman penjajah Belanda.
"Belanda ngoyod kadieu nyandak senjata berat nu kalintang kumplitna bade nyerang kp. Nunggal, da di keker heula "ah masarakat jelata !", "Bagus", dibaguskeun wee aman meureun ceuk manehanana teh".
Mereka membawa peralatan senjata yang lengkap sekali seperti Brand, Stend, Karaben (senjata berat bila di tembakan suaranya menggelegar otomatis dereded.... dereded.... satu hower peluru dalam satu kali selahan, mengerikan!), laras panjang, dan senjata pelengkap lainnya pistol, teropong jarak jauh dll yang berjejer dibariskan bersama tentara yang bertubuh tinggi besar dan gagah mereka berkumpul dan mondar-mandir di lokasi kp. Cimencek yang membuat hati kecil menggetar dan miris bila melihatnya, oleh sebab itu wajarlah bila penduduk kampung-pun merasa ketakutan atas kedatangannya yang khawatir menjadi korban kejahatan penjajah Belanda. Mula-mula mereka memperhatikan lokasi disekitar untuk mencari tahu keberadaan Syaikhuna Badruzzaman , setelah itu mereka meneropong kp. Nunggal dari halaman mang Omon dekat Pesantren Al-Hikmah Cimencek, yang mungkin mereka sudah mendapatkan informasi dari mata-mata yang biasa memata-matai keberadaan Syaikhuna Badruzzaman .
"Upami ninggal dohir mah pasti diseganan tur dipikasieun ku-jalmi, tapi ari ku batin mah ku Syaikhuna Badruzzaman henteuuu diseganan sanaos ku brand, mortir, kanon atanapi naon-naon oge. Tah waktos riwayat Belanda ngintai ka Cidadali Legok Pulus, datang pesawat hebat, anu ngageumpeurkeun sadayana, ngan ngajerit taqorub ka Alloh sadayana, sahingga kantos aya hiji pesawat tempur anu hancur, ngurawed kana tangkal kai, "borolo.. ancur wee didinya sagala rupana, pesawat tempur wee.. bangsa yaher tea". Dongkapna kapal subuh-subuh aya dua tiluna sahingga sadayana geumpeur ku eta gaungan pesawat "Marukan teh kitu tah Ceng !" (Kalau secara kasat mata segan/takut melihatnya, tetapi Syaikhuna Badruzzaman tidak merasa segan oleh senjata, pernah ada pesawat tempur yang jatuh menimpa pohon dan hancur waktu membom Cikurantung Lebak Bulus semuanya gentar akan tetapi menjerit dan mendekatkan diri pada Alloh), tutur Akeh.
Bersamaan dengan itu Akeh pun berinisiatif untuk mengumpulkan dan menyadarkan penduduk setempat untuk bersama-sama berjuang li-i'la kalimatillah (mempertahankan agama Alloh) dari mulai kakek-kakek, nenek-nenek, orang tua dan anak-anak semua dimohon untuk keluar dari rumahnya, Akeh meminta mereka untuk bersungguh-sungguh dan sengaja dibariskan di jalan setapak pinggir kampung untuk diperlihatkan kepada tentara Belanda. "Baguss, aman !" itulah yang terdengar dari mulutnya, mereka menganggap tidak ada Syaikhuna Badruzzaman hanya terlihat masyarakat biasa, rakyat jelata, orang buta huruf yang tidak mencurigakan terhadapnya.
"Ari maksadna mah bade kaditu... (Kp. Nunggal), da sahanteuna aaaya mata mata mah, Eyang (Syaikhuna Badruzzaman ) sakulawarga aya di bumi Akeh di Kp. Nunggal, uhhh Brend naragog Stend didieu teh di jajarkeun, heeuh mempeng wee kaditu, teu aya aling-aling tidieu ka kampung Nunggal teh ngan kahalangan kusabaraha kotak sawetaneun pasantren saparapat kilometer (250 meter). Ari Belanda tidieu (kp. Cimencek), maksadna mah bade ngaleeepas kaditu, ngan syareatna di pager wee ku Eyang ku du'a, jeung Akeh ngayakeun inisiatif, bangsa nini, aki-aki di-irid kadieu kaluar lemur, jeung bangsa budak sagede kieu ti kp. Nunggal teh. Heu..euh Akeh ge ngiring ngomando, "sok cekeng sing beres !", heug tarempo ka dituu.., enya tidieu teh di keker Brend-brend nentreng kaditu teh, senjata berat Seten, bangsa Brend teh, nya katingal da caket teu aya aling aling tea, da teu acan aya naon-naon. "
Bersamaan dengan itu pula beliau dan keluarganya sedang berada di rumah orang tua Akeh di kp. Nunggal di sebelah timur dari Pesantren , kemudian menyamar dengan mengganti pakaian kuli tani dan memakai topi petani (dudukuy samak, sunda) punya pekerja orang tua Akeh serta membawa cangkul terus pergi kekebun singkong bekas tanaman tembakau sebelah timur dari rumah sambil berprilaku seperti layaknya kuli petani, sesampai di kebun langsung mencangkul "kincid weh ka kebon, gecruk ngored hehehe..(Akeh)". Bersyukur Alhamdulillah dengan cara menyamar tersebut penjahat Belanda pun tertipu dan terkecoh sehingga mereka tidak melanjutkan niatnya untuk menyerang kp. Nunggal dan kembali lagi, tidak satu pelurupun yang mereka tembakan sehingga korbanpun tidak ada.
"Syaikhuna Badruzzaman aya di Kp. Nunggal sareng pun Bapak nuju ngored dina kebon sampeu, ceuk akeh tea mah heu-euh, hehehehe.. heuu... nganggo panganggo eta weh tukang kuli... , nganggo dudukuy samak, nyandak pacul, kincid weh ka kebon, gecruk ngored hehehe.... sareng pun Bapak, Akeh anu didieu, atuh tempokeun we barudak di jajarkeun, bangsa sepuh, keker weeeh ku Belanda tidieu teh, meureun ceuk maranehanana teh " Ahhh... masyarakat geemel, bangsa jelata, ge..mel, bangsa buta huruf iyeu mah !", heu-euh da caket atuh, heu.. da ari Brend sareng Seten tiditu teh netral katingal jelas pisan. Keun cekeng lillaahi ta-ala, li-i'la kalimatillah, heueuh da Syaikhuna Badruzzaman dikebon teh syareaatna !, padahal mah langsung kanu kawasa nga-du'a."
Setelah situasi dianggap aman Akeh-pun mengecek ke kp. Cimencek dan disitu dikabarkan tentara Belanda sudah meninggalkan kampung tersebut "Enggeus baralik deui kabeh !" kata orang kampung, kemudian Akeh segera kembali ke Kampung Nunggal dan ditanya oleh beliau :"Enggeus euweuh Jang Di ?", "Atos aman kulan, tos teu aya, kalabur !", "Nyaa Al-hamdulillah !" (Sudah pergi Jang Di? tuturnya, sudah aman Eyang !, sudah pergi !, kabur !, Alhamdulillah), setelah itu beliau masuk ke kamar mandi dan mengganti pakain yang dipakai untuk menyamar tersebut.
"Didieu ge pun bapak, nyakitu wee ta'diman ka Syaikhuna Badruzzaman diditu wee teu kamana mana, kalah nenangkeun Akeh sadayaaana, teu hayang make ngejat, upami dongkap serangan itu-iyeu, teu hoyongeun ngejat" (orang tua akeh tidak pergi kemana-mana walaupun ada serangan karena cintanya kepada Syaikhuna Badruzzaman ).
Waktu itu masyarakat yang ikut mengungsi ke kp. Nunggal cukup banyak hampir semua keluarga Syaikhuna Badruzzaman sedang berada disana termasuk Ma Halimah (istri), Ma Ihat (istri) beserta putra-putrinya seperti Neng Mimi yang di Pasirwangi serta Neng Omah dilahirkan di kampung ini. Ada juga dari kampung lain seperti dari kp. Cimurugul keturunan Bah Suria Mi Enoh, menantu polisi lalu lintas Didi yang di Jayaraga, Ibu H. Eha yang punya toko optical kaca mata, Ibu Iya dan yang lainnya semuanya sedang berada di kp. Nunggal. Adapun Mama Eyang H Faqih dan Ma Nini (Ma Encum) beliau berada di kp. Al-Falah Biru tidak mengungsi. (EndOfKishah)
4. Selayang Pandang Pesantren Al-Falah - Biru
Artikel diambil dari:
- Direktori Pesantren yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Jakarta - 2006
- Editorial : Disadur dan disempurnakan oleh A. Tajul Arifin, ST, Garut
I. Sejarah Keberadaan Pesantren Biru dan Al-Falah
Pondok Pesantren Al-Falah Biru adalah generasi penerus pertama Pesantren Biru, sehingga terkenal di kalangan masyarakat Islam adalah Pesantren Biru atau Biru. Biru didirikan tahun 1749 oleh Embah Pengulu (Embah Kyai Akmaluddin) penghulu Timbanganten/Garut dan menantunya Raden Kyai Fakaruddin keturunan ke-11 dari Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatulloh, Raja Cirebon) dan keturunan ke-11 dari Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran).
Kampung Biru merupakan daerah yang bersejarah baik di kalangan Islam maupun Nasional, sebab menghasilkan banyak sejarah dan peran yang penting dari sebelum masa penjajahan Belanda sampai kemerdekaan Presiden Soekarno, serta Biru merupakan pedoman sejarah keturunan (silsilah), ke-ulamaan dan ke-radenan di daerah Garut.
Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Biru adalah:
1. Embah Kyai Akmaluddin dan Embah Kyai Fakkaruddin
2. Embah Ajengan Abdulrosyid
3. Embah Kyai Irvan
4. Embah Kyai Abu Qo'im
5. Raden Bagus K.H. Muhammad Ro'ie (Ama Biru).
Dari generasi kepemimpinan pertama sampai terakhir Pesantren Biru mengalami masa kejayaan yang subur makmur kerta raharja (Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur) serta terkenal di pulau jawa dan diluar jawa, oleh karena itu maka kampung Biru mngalami harkat martabat kebesaran dan kemuliaan di kalangan Nasional, serta di hargai oleh masyarakat dan pemerintah Belanda, sehingga pada masa pimpinan Embah Ajengan Abdulrosyid Biru dimerdekakan oleh kaum Penjajah Belanda dan sampai pada generasi kelima Biru sebagai pusat Agama Islam di daerah Garut.
Setelah masa Raden Bagus K.H. Muhammad Ro'ie berakhir, maka Pesantren Biru di pindahkan ke kampung Thoriq Kolot kemudian dirubah nama menjadi "Al-Falah" yang dipimpin oleh putranya yang bernama Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh (Bani-Faqieh) dan cucunya Syaikhuna Badruzzaman. Pada masa ini Pesantren Al-Falah Biru mengalami banyak rintangan baik dari penjajah, Umat Islam ataupun pengaruh para politikus di Indonesia.
Ulama yang memimpin dan mengelola Pesantren Al-Falah Biru adalah:
- Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh
- Syaikhuna Badruzzaman
- R. KH. Bahruddin
Pada tahun 1933-1938 M. Raden KH. Asnawi Muhammad Faqieh dan putranya Syaikhuna Badruzzaman mengungsi dari kampung Al-Falah, untuk menyebarkan agama Islam di daerah Kab. Tasik yaitu Taraju/Indularang yang masih menganut agama Hindu yang kebetulan di daerah Garut sedang terjadi fitnah "Perintah Suntik" dari penjajah Belanda. Sepulang dari pengungsian pengajian dibuka lagi, pada waktu itu Pesantren Al-Falah Biru mempunyai puluhan ribu murid bahkan pada pada masa penjajahan Jepang berjumlah ratusan ribu murid sehingga Jepang menyebutnya "Maha Raja" kepada KH Faqieh yang dibantu oleh putranya Syaikhuna Badruzzaman, karena Jepang melihat kehebatan pengaruhnya melebihi yang lainnya.
II. P o l i t i k
Perpolitikan di kampung Biru telah tercatat sejak tahun 1914, yang dimulai oleh KH. Muhammad Soleh putra Ama Biru yang ikut bergabung dengan SI (Syarikat Islam) pimpinan H. Oemar Said Cokro Aminoto, pada saat itu Biru berani terang-terangan ingin merdeka, dan mengajak kepada orang lain, menentang dan mengejek pemerintah Belanda dimuka umum yaitu:
1. Melarang mengagungkan dan mendoakan bupati dalam khutbah.
2. Menyalahkan bupati dan berani berkata "caduk" kepada bupati dimuka umum.
3. Mengejek pemerintahan Belanda dimuka umum.
4. Melarang menyembah, sebab pada waktu itu diharuskan manut-manut (menyembah) kepada para menak/ningrat.
Lagu kebangsaanya adalah:
Indones-Indones merdeka-merdeka tanah-ku negriku yang ku cinta 2x
Indones-Indones mulia-mulia hiduplah Islam Indonesia.
Pada periode kepemimpinan Syaikhuna Badruzzaman yaitu tahun 1942 dimasa penjajahan Jepang dan Agresi Belanda II beliau mendirikan pasukan Hizbulloh kemudian Hizbulloh Fisabilillah yang lebih besar lagi untuk mengusir dan melawan penjajah sehingga berhasil mematahkan dan menggempur sebagian di wilayah Garut, Bandung dan Jogya (Madiun), maka pada waktu itu Al-Falah Biru terkenal ditingkat Nasional (terkenalnya "Biru") baik di dalam ilmu ke-pesantrenan ataupun kegagahan serta keberaniannya dalam berperang dengan penjajah untuk membela umat Islam dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1942-1949). Maka pada masa kemerdekaan Biru cukup dihormati dan disegani oleh pemerintahan Presiden Soekarno dan masyarakat umum.
III. Mundurnya Pengaruh Biru (Al-Falah Biru)
- Mundurnya pengaruh Al-Falah Biru disebabkan adanya politik DI/TII pimpinan Karto Suwiryo yang banyak merugikan Umat Islam yang mengorbankan jutaan jiwa di seluruh Indonesia maka pada tahun 1950 Syaikhuna Badruzzaman mengungsi ke Majenang Jawa Tengah kemudian ke Arab Saudi dengan bantuan Muhammad Natsir tokoh Partai Masyumi dan kembali lagi tahun 1960, kemudian membangun lagi Pesantren Al-Falah Biru sejak itu pesantren tidak ramai seperti sebelum ditinggalkan.
- Yang kedua adalah adanya politik Muhammadiyyah memasukkan pengaruhnya kepada Syaikhuna Badruzzaman walaupun pada akhirnya beliau bersikap netral terhadap partai-partai politik yang ada.
- Pengaruh kejahatan politik partai komunis (PKI) di Republik Indonesia yang memusuhi umat beragama khususnya agama Islam juga merugikan umat Islam, banyaknya ulama-ulama, kyai-kyai, dan pembela agama Islam yang dibunuh dengan kejam yang tidak berpri-kemanusiaan termasuk Syaikhuna Badruzzaman pun diancamnya akan dibunuh.
Walaupun banyak cobaan dan rintangan dari waktu kewaktu, pengaruh kebesaran Biru masih membekas dimata para murid dan yang menyaksikan dimasa kejayaannya sampai saat ini (tahun 2006 M), seperti semakain banyaknya orang yang mengikuti amalan Thoriqot-Tijaaniyyah yang dahulunya di pimpin oleh Syaikhuna Badruzzaman di tahun 1935 M.
DAFTAR PUSTAKA
- Keluarga Besar Bani-Faqieh Al-falah Biru Garut dalam bentuk tulisan dan lisan (Ibu R. Hj. Aisyah(Ma Icah), Alm. Drs K.R A.M. Suruur, R. Hj. Neneng, KH. R. Mamad, Drs K.R. Dede, DR. ENG. KH. R. Muchlis Badruzzaman, DEA, H. R. Sambas, DR. KH R. Ikyan Sibawaeh.
- Alm. Bapak KH. R. Imam Abdussalam, Bandung. Buku Sejarah tidak berjudul berisi: Sejarah Islam.
- Bapak KH. R. Aceng Aan, Garut, Mantan Perwira TNI (Nara Sumber pengambilan data Sisilah Bani-Faqieh Al-Falah Biru).
- Bapak Ahmad (usia 117 di tahun-2007), Al-Falah Biru, Cerita lisan sebagai saksi mata pada masa hidup Ama Biru (Raden Bagus Kyai Haji Muhammad Ro'i).
- Dr. H. Dadan Wildan, M. Muh, 2003. Sunan Gunung Djati Antara Fiksi dan Fakta, Pembumian Islam Dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.
- H. Lawrens Rasyidi, 1995. Kisah dan Ajaran Wali Songo, Para Penyebar Agama Islam Ditanah Jawa.
- Bapak Ust Ateng murid Syaikuna Badruzzaman.
- Bapak Sersan Mayor H. Gholib (82 Tahun, Mantan Hizbulloh).
- Bapak H. Idi (93 Tahun, Mantan Hizbulloh).
- Bapak AIPDA Didi Maskadi (77 Tahun, Mantan Hizbulloh, dan Polisi Garut).
- Bapak Haji Engking Putra Bapak Hijaz Alm. Mantan Hizbulloh.
- Artikel-artikel yang dimuat di media internet.
- Artikel-artikel dari berbagai media tulis di Jakarta.
- Artikel Direktori Pesantren yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Jakarta - 2006
- Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Editor : Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Penerbit Diva Pustaka Jakarta, Cetakan Pertama Juni 2003
- Tarekat and tarekat teachers in Madurese society, Martin van Bruinessen, http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/index.html
- Bapak Ganda (77 tahun) mantan DPRD dan Hizbulloh
- Cerita-cerita lisan, tulisan dari murid-murid KH Badruzzaman
(Jakarta, Rabu 03 Oktober 2007)